SIFAT PUASA NABI ﷺ BAG.11 (I’TIKAF)
Bahasan i’tikaf yang menjadi salah satu amalan bulan puasa Ramadhan ini telah disebutkan hikmahnya oleh Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Zadul Maad, berikut kami kutipkan dalam Sifat Puasa Nabi ﷺ Bag.11;
“Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta’ala tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta’ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta’ala, sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya.
Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta’ala, dan disyariatkannya (i’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskan jalan hamba tersebut dari memperoleh kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak.
Dan disyariatkannya i’tikaf bagi mereka (para hamba) yakni niat serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta’ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah semua keinginannya tercurah kepada-Nya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutan-Nya terhadap makhluk, yang menyebabkan hamba berbuat demikian adalah karena kelemahannya tersebut di hadapan Allah pada hari kesedihan di dalam kubur saat sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu”.
Subscribe Channel Youtube Elssi Peduli: @elssipeduli4520
Dari kutipan ini, kita dapati betapa kusutnya jiwa dan hati seorang hamba setelah bersibuk-sibuk dengan dunia, kemudian ia hadapkan semua itu kehadapan Allah saat i’tikaf di masjid. Benarlah adanya, ketika manusia mengalami berbagai kesulitan hidup di dunia ini, mereka merinduan kesunyian yang di dalamnya dia menyepi bersama Robb dan Ilahnya, kekasihnya dan Dzat yang diibadahinya, penolong dan Dzat yang dimintainya.
I’tikaf Ramadhan adalah kesempatan terbaik bagi orang yang ingin mendapatkan kebahagiaan sejati, karena di dalamnya terdapat berbagai macam hadiah yang telah disimpan untuk para hamba, tepat pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
I’tikaf adalah sebuah ibadah yang tidak sama dengan ibadah lainnya. I’tikaf berarti memfokuskan diri kepada Allah secara total dan meninggalkan berbagai kesenangaan dunia yang dapat menghalangi perjalanan ruhani manusia yang luhur menuju Allah Ta’ala.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata: “Nabi ﷺ bila telah memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dengan beribadah, serta membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhori)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Nabi ﷺ selalu beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (HR. Bukhori)