Teladan Kebaikan Keluarga Salafusholih
1. Membela Kebenaran dan Berkorban di Jalan Alloh ﷻ.
Teladan Kebaikan Keluarga Salafusholih – Imam Adz-Dzahabi rohimahulloh menukil kisah tentang Imam Ashim bin Ali al-Wasity rohimahulloh, di zaman fitnah khalqul Qur’an. Ketika itu Imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh ditangkap dan disiksa oleh penguasa karena beliau mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah bahwa al-Qur’an adalah firman Alloh ﷻ dan bukan makhluk. Maka Ashim bin Ali al-Washity berkata di hadapan para ulama Ahlus Sunnah lainnya: “Adakah orang yang mau berdiri bersamaku untuk bersama-sama kita datangi Khalifah al-Ma’mun dan menasehatinya (agar meninggalkan perbuatan buruk tersebut)?”. Ketika itu tidak ada seorangpun yang memenuhi ajakannya, lalu kemudian Ibrahim bin Abi al-Laits rohimahulloh berkata: “Wahai Abul Hasan (Ashim bin Ali), aku pulang dulu menemui anak-anakku untuk memberi wasiat kepada mereka (sebelum pergi bersamamu).”
Kemudian Ibrahim bin Abi al-Laits rohimahulloh datang dan berkata kepada kami: “Aku pulang menemui anak-anakku dan mereka menangis karena takut aku akan disiksa atau dibunuh”. Pada waktu itu datang sepucuk surat dari dua putri Imam Ashim bin Ali rohimahulloh dari kota Wasith yang isinya: “Wahai ayah kami, sungguh telah sampai kepada kami berita bahwa orang ini (Khalifah al-Ma’mun) telah menangkap dan menyiksa Imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh agar mau mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Maka wahai ayah kami, bertakwalah kepada Alloh dan janganlah mengikuti Khalifah (dalam pendapatnya yang sesat itu). Demi Alloh, sungguh jika datang kepada kami berita tentang kematianmu, itu lebih kami sukai daripada berita bahwa engkau mengikutinya (dalam pendapatnya yang sesat itu).”
Lihatlah teladan agung dalam berkorban di jalan Alloh ﷻ dan membela aqidah Ahlus Sunnah dalam kisah ini. Keluarga para ulama telah terdidik untuk mengagungkan dan mengutamakan kebenaran, apalagi yang berhubungan dengan iman dan keyakinan tentang kemahasempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Alloh ﷻ, bahkan mereka meyakini ini semua lebih berharga daripada apapun yang paling mereka cintai di dunia ini, termasuk harta benda maupun anggota keluarga yang terdekat. Mereka benar-benar memahami makna al-wala’ wal bara’ (cinta dan benci karena Alloh) sebagaimana dalam firman-Nya:
“Kamu (wahai Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan Rosul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudara ataupun keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang Alloh telah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Lalu dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Alloh ridho terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Merekalah golongan Alloh. Ingatlah, sesungguhnya golongan Alloh itulah yang beruntung.” (QS al-Mujadilah: 22)
2. Menjauhi Sifat Rakus Terhadap Harta Meskipun Dalam Keadaan Miskin Dan Kekurangan.
Teladan Kebaikan Keluarga Salafusholih – Imam Ibnul Jauzi rohimahulloh menukil kisah tentang seorang lelaki dari Baghdad yang bernama Abdullah, dia akan melakukan ibadah haji dan membawa titipan uang sepuluh ribu dirham dari pamannya yang berpesan kepadanya: “Jika kamu telah sampai di kota Madinah, maka carilah keluarga yang paling miskin di sana, lalu berikanlah uang ini kepada mereka sebagai sedekah”.
Abdullah bercerita: “Ketika aku telah sampai di Madinah, maka aku bertanya kepada orang-orang tentang keluarga yang paling miskin di Madinah. Lalu aku ditunjukkan sebuah rumah, aku pun mendatanginya lalu mengetuk pintunya. Seorang perempuan (dari dalam rumah) menjawab ketukanku. Dia berkata: “Siapakah anda?”, Aku menjawab: “Aku seorang yang datang dari Baghdad. Aku dititipkan uang sepuluh ribu dirham dan aku dipesan untuk menyerahkannya (sebagai sedekah) kepada keluarga yang paling miskin di Madinah, dan orang-orang telah menceritakan keadaan kalian kepadaku, maka ambillah uang ini!”.
Perempuan itu menjawab: “Wahai Abdulloh, orang yang menitipkan uang itu kepadamu mensyaratkan keluarga yang paling miskin (yang berhak menerimanya), dan keluarga yang tinggal di depan rumah kami lebih miskin daripada kami, berikanlah uang itu kepada mereka!”.
Akupun meninggalkan rumah itu dan mendatangi rumah keluarga di depannya, lalu aku mengetuk pintu dan seorang perempuan (dari dalam rumah) menjawab ketukanku. Kemudian aku katakan padanya seperti yang aku katakan kepada perempuan yang pertama. Maka perempuan itu menjawab: “Wahai Abdulloh, kami dan tetangga kami itu sama-sama miskin, maka bagilah uang itu untuk kami dan mereka”.
Renungkanlah kisah di atas! Mereka benar-benar menjaga diri dari sifat rakus dan tamak terhadap harta. Sifat inilah yang menjadikan seorang manusia selalu berambisi mengumpulkannya meskipun dengan cara yang tidak halal dan mengambil yang bukan haknya.
Mereka benar-benar memahami hadis Rosululloh ﷺ:
“Demi Alloh, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan akan merusak agama kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika perhiasan dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana telah dibentangkan bagi umat sebelum kalian, maka kalian pun berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka dahulu berlomba-lomba mengejarnya, sehingga akibatnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka”. (HR. Bukhori dan Muslim)
Arti sabda beliau ﷺ “…sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian”, yaitu: dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan, disebabkan ambisi dan persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya dan kesibukan dalam mengejarnya sehingga melalaikan dari mengingat Alloh Ta’ala dan balasan di akhirat.
Kemudian, akhlak mulia yang mereka miliki ini juga melahirkan sifat mulia lainnya, yaitu al-itsar (mendahulukan saudara sesama muslim) dan rela berbagi bersamanya, meskipun dirinya sendiri membutuhkannya.
Sifat mulia ini yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman dan dipuji oleh Alloh ﷻ dalam firman-Nya: “Dan orang-orang Anshor yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Hasyr: 9)
3. Meninggalkan Perbuatan Maksiat Sejak Usia Dini
Teladan Kebaikan Keluarga Salafusholih – Imam Abu Bakar al-Marwazi rohimahulloh berkata: “Aku pernah datang ke rumah Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh). Aku melihat seorang wanita tukang sisir sedang menyisir rambut anak perempuannya yang masih kecil. Setelah itu aku bertanya kepada tukang sisir tersebut: “Apakah kamu menyambung rambutnya dengan qoromil?”. Tukang sisir itu berkata: “Anak kecil itu menolak dengan keras dan berkata: “Sesungguhnya ayahku melarangku melakukan itu dan dia akan marah kalau aku melakukannya”.
Lihatlah bagaimana pengaruh positif didikan sang ayah dari anak kecil ini dalam berpegang teguh dengan perintah Alloh ﷻ dan meninggalkan larangan-Nya. Imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh tentu telah mengajarkan kepada putri kecilnya ini hadis Rosululloh ﷺ bahwa beliau melaknat perempuan yang menyambung rambutnya dan perempuan yang meminta disambungkan rambutnya.