“Sungguh akan Kami berikan ujian
kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. al-Baqoroh [2]: 155)
Sebagai hasil dari belajar dan mencermati jalan panjang kehidupan dunia, para orang tua kita dahulu telah membuat pepatah yang banyak tersebar di masyarakat. Salah satunya dalam menggambarkan kehidupan dunia yang diumpamakan ‘bak roda pedati’ yang selalu berputar. Putaran roda pedati menjadikannya tak pernah berada dalam satu posisi. Adakalanya berada di atas dan lain waktu pasti harus di bawah.
Demikianlah gambaran kondisi kehidupan seorang manusia di dunia ini. Ada suka dan ada pula duka. Ada canda tawa tanda bahagia, dan ada pula tangis pilu nestapa. Ada saat dimana kita begitu bahagia meraih nikmat dan karunia, namun di kesempatan lain harus menahan duka mendalam atas pahitnya ujian.
Itulah dunia. Kehidupan di dalamnya tak satu warna. Lika-liku menjadi ciri dan karakter dunia. Bagi seorang muslim tentulah harus banyak bersyukur. Terutama atas karunia terbesar dari Alloh SWT berupa nikmat iman dan Islam. Alloh SWT memberi pedoman bagi manusia agar mereka tak salah arah, tak salah dalam melangkah, dan tak tertipu fatamorgana dunia.
Salah satu pedoman tersebut adalah firman-Nya dalam QS. al-Baqoroh ayat 155. Terkait ayat ini, Syaikh Abdur Rahman Nashir ad-Sa’di menjelaskan bahwa Alloh SWT pasti akan menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai bentuk ujian. Hal ini semata-mata agar tampak jelas antara orang yang benar dalam imannya dengan yang dusta, juga antara orang yang bersabar dan tidak.
Alloh SWT berfirman:
“Alif laam miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan “Kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak diuji? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabut [29]: 1-3)
Musibah merupakan salah satu sunnatulloh yang pasti terjadi pada hamba-hamba-Nya. Tak bisa tidak, setiap kita pasti akan mengalaminya. Masing-masing akan merasakan ujian sesuai yang Alloh SWT telah tetapkan.
Suatu kondisi kesenangan atau kelapangan hidup jika terus menerus terjadi pada diri seorang mukmin tanpa diselingi ujian niscaya akan terjadi pencampuran dan penodaan yang lambat laun akan merusak keimanannya. Demikianlah ketika kemurnian iman berupa tawakal kepada Alloh SWT, rasa harap dan faqir (sangat membutuhkan) kepada-Nya telah ternodai dengan cinta dunia ataupun bangga diri (ujub) dengan ‘hasil usahanya’, maka noda-noda itu akan merusak bahkan dapat menghancurkannya.
Sering kita saksikan orang yang lupa kepada Alloh SWT dikala bergelimang kenikmatan duniawi, padahal dahulu ia melaksanakan keislamannya dengan baik. Kesenangan duniawi memang seringkali menjadikan seseorang lalai dan akhirnya terjerumus dalam berbagai kemaksiatan.
Kelapangan maupun kesempitan, suka maupun duka semuanya adalah ujian. Alloh SWT berfirman:
“Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 35)
Ada Hikmah di Balik Ujian
Diantara hikmah di balik ujian yang telah Alloh SWT tentukan adalah terjadinya seleksi antara ahlu al-khoir (loyalis kebaikan) dengan ahlu asy-syarr (loyalis keburukan). Inilah sebenarnya faidah atas sebuah ujian. Ujian bukan sama sekali untuk menghilangkan atau mengurangi keimanan pada diri mereka, dan bukan pula memalingkan mereka dari Islam. Alloh SWT tidaklah akan menyia-nyiakan keimanan hamba-Nya.
Perhatikanlah lebih dalam ayat ini, dimana Alloh SWT mengabarkan berbagai bentuk ujian atas hamba-hamba-Nya yaitu; rasa takut,misalnya tindak kedzoliman yang dilakukan penguasa atau berupa makar dari musuh-musuh Islam; kelaparan, kekurangan harta, mencakup semua bentuk musibah yang menimpa harta, baik karena musibah massal (gempa bumi, banjir, kebakaran, dll) ataupun karena tindak kriminalitas yang dialami. Lalu bentuk lainnya berupa kehilangan jiwa, seperti kematian orang-orang yang dicintai (orang tua, anak atau suami-istri); dan kekurangan buah-buahan, seperti musibah hama yang menimpa lahan pertanian atau perkebunan.
Ketika musibah yang menjadi ujian ini terjadi maka manusia secara umum terbagi menjadi dua; pertama; orang yang bersabar, dan kedua; orang yang tidak bersabar dan terus dalam kegoncangan.
Seorang mukmin yang bersabar adalah orang yang mendapat taufik dari Alloh SWT, sehingga ketika musibah menimpanya ia mampu menahan diri dari segala hal yang tercela, baik ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin. Di saat yang sama ia pun memohon pahala terbaik dari Alloh SWT yang telah menentukan musibah itu menimpa dirinya. Ia merasa yakin bahwa pahala di balik musibahnya jauh lebih besar dibanding ujian yang dialaminya.
Bahkan pada hakikatnya, musibah itu adalah nikmat baginya, dimana dengan demikian ia dapat meraih sesuatu yang lebih baik dan lebih bermanfaat yaitu pahala atas kesabarannya menghadapi ujian.
Kondisi inilah yang membuat takjub Rosululloh SAW, dimana seorang mu’min selalu berada dalam kebaikan, apapun kondisinya. Suka maupun duka, lapang maupun sempit. Syukur selalu menyertainya tatkala ia lapang dan sehat. Sebaliknya, kesempitan pun selalu ia iringi dengan kesabaran.
Rosululloh SAW bersabda:
((عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ))
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Segala kondisinya adalah kebaikan baginya, dan hal itu tidak terjadi kecuali pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan ia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya. Jika ia mendapatkan musibah ia bersabar, maka hal itu pun menjadi kebaikan baginya” (HR. Muslim, Ahmad dan ad-Darimi)
Semakna dengan hadits tersebut, dalam riwayat lain beliau bersabda:
((عَجَبْتُ مِنْ قَضَاءِ اللهِ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ حَمِدَ وَشَكَرَ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ مُصِيْبَةٌ حَمِدَ وَصَبَرَ، فَالْمُؤْمِنُ يُؤْجَرُ فِيْ كُلِّ أَمْرِهِ))
“Aku kagum dengan ketentuan Alloh atas urusan seorang mukmin. Jika ia ditimpa kebaikan maka ia memuji Alloh dan bersyukur. Jika ia ditimpa musibah ia pun bersyukur dan bersabar. Dengan demikian seorang mu’min mendapat pahala dalam setiap kondisinya” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i)
Beliau juga menuntun umatnya untuk menyikapi setiap musibah dengan benar, yaitu dengan mengucapkan istirja’ dan memohon balasan terbaik dari Alloh SWT.
((مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللَّهُمَّ أْجُرْنِيْ فِيْ مُصِيبَتِيْ وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا، إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا))
“Setiap mukmin yang ditimpa musibah lalu ia mengucapkan yang diperintahkan Alloh SWT yaitu “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Allohumma’jurni fi mushibati wa akhlifli khoiron minha” (Sesungguhnya kami adalah milik Alloh dan hanya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Alloh, berikanlah aku pahala atas musibahku ini dan gantikanlah untukku yang lebih baik darinya), pasti Alloh ‘ menggantikan untuknya yang lebih baik” (HR. Muslim)
Semoga Alloh SWT selalu memberikan taufik-Nya kepada kita semua, sehingga kita mampu bersabar menerima ketentuan-Nya, yang dengannya kita akan meraih janji-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“…Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun” (Sesungguhnya Kami adalah milik Alloh dan kepada-Nya-lah Kami kembali).” (QS. al-Baqoroh [2]: 155-156)