KISAH WAKAF UNTUK ORANGTUA YANG TELAH TIADA

Ilustrasi. Kisah Wakaf untuk Orangtua yang Telah Tiada. www.elssipeduli.id

Ingat Sa’ad bin Ubadah? Seorang sahabat Anshor yang mulia, pemuka kaum Khojroj, penduduk asli kota Madinah. Suatu kali saat Sa’ad mengikuti peperangan bersama Rasululloh jauh dari kota Madinah, dikabarkan Ibunda Sa’ad meninggal dunia. Kisah ini tercantum dalam hadits riwayat Bukhori tentang keinginan Sa’ad mewakafkan sebagian hartanya berupa kebun atas nama sang Ibunda yang telah tiada tersebut.

أَنَّ ‌سَعْدَ ‌بْنَ ‌عُبَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِيَ الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

bahwa Sa’ad bin Ubadah radhiallahu’anhu, ibunya meninggal dunia saat dia tidak ada di sisinya. Kemudian dia berkata, “Wahai Rasululloh, ibuku meninggal dunia saat aku tidak ada. Apakah akan bermanfaat baginya bila aku menyedekahkan sesuatu?” Beliau bersabda, “Ya.” Dia berkata, “Aku bersaksi kepada Anda bahwa kebunku yang penuh dengan bebuahannya ini aku sedekahkan atas namanya”. (HR. Bukhori)

Dalam riwayat lain dikabarkan, sebelum meninggal, Ibunda Sa’ad diminta berwasiat, namun beliau menolak dan memastikan bahwa harta yang ada padanya telah menjadi milik Sa’ad.

خَرَجَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ مَعَ النبي صَلى الله عَلَيه وَسَلم ‌فِي ‌بَعْضِ ‌مَغَازِيهِ، ‌وحَضَرَتْ ‌أُمَّهُ ‌الْوَفَاةُ ‌بِالْمَدِينَةِ، فَقِيلَ لَهَا: أَوْصِي قَالَتْ: فِيمَ أُوصِي؟ إِنَّمَا الْمَالُ مَالُ سَعْدٍ فَتُوُفِّيَتْ قَبْلَ أَنْ يَقْدَمَ سَعْدٌ، فَلَمَّا قَدِمَ سَعْدُ ذُكِرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ سَعْدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ يَنْفَعُهَا أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم: نَعَمْ، فَقَالَ سَعْدٌ: حَائِطُ كَذَا وَكَذَا صَدَقَةٌ عَنْهَا، لِحَائِطٍ سَمَّاهُ

Follow Instagram Kami: elssipeduli

Sa’ad bin ‘Ubadah pernah keluar bersama Rasululloh ﷺ di sebagian peperangan. Sementara Ibunya yang berada di Madinah telah menemui ajalnya, lalu dikatakan kepada ibunya, “Berwasiatlah.” Ibunya lalu berkata, “Untuk apa aku berwasiat! Sesungguhnya harta itu adalah milik Sa’ad.” kemudian dia meninggal sebelum Sa’ad sampai di Madinah. Ketika Sa’ad bin Ubadah tiba, maka kejadian itu disampaikan kepadanya. Sa’ad pun berkata, “Wahai Rasululloh, apakah jika aku sedekahkan harta itu akan memberi manfaat kepada ibuku?” Rasululloh ﷺ menjawab, “Ya.” Sa’ad lalu berkata, “Kebun ini dan itu adalah sedekah atas nama ibuku”. (HR. Malik dalam al-Muwatho)

Keputusan Sa’ad mewakafkan kebun tersebut juga berdasarkan arahan Rasululloh mengingat saat itu kondisi musim sedang paceklik, saat musim serba kering dan susah mendapatkan bahan makanan dan air, maka tentu apa yang diwakafkan Sa’ad sangat-sangat bermanfaat. Hal ini sebagaimana hadits riwayat an-Nasa’i,

عَنْ ‌سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ ، عَنْ ‌سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْتُ: فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: ‌سَقْيُ ‌الْمَاءِ

dari Sa’id bin Al-Musayyab dari Sa’ad bin Ubadah berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasululloh, sesungguhnya ibuku meninggal, bolehkah aku bersedekah untuknya?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku lalu bertanya, “Sedekah apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Memberi minum air.” (HR. an Nasa’i)

Dari hadits-hadits ini kita bisa membayangkan bahwa Sa’ad sangat menyayangi Ibundanya, dan apa yang diwakafkan Sa’ad bin Ubadah untuk ibunya adalah suatu yang sangat dibutuhkan masyarakat saat itu. Kebun yang penuh dengan bebuahan dapat memenuhi kebutuhan pangan, sungai yang mengalir di dalam kebun itu dapat memberi manfaat sebagai sumber air, atau juga dapat menjadi sumber-sumber air baru berupa sumur-sumur yang digali untuk kebutuhan masyarakat lainnya.

Tanpa pikir panjang Sa’ad bin Ubadah berwakaf atas nama ibunya, dia pun sangat yakin dengan wakafnya yang diberikan di jalan Allah dapat lebih-lebih lagi bermanfaat bagi Ibunda tercinta yang telah tiada di alam baka sana. Bukankah telah terputus amal seseorang apabila ia telah meninggal dunia? Bukankah yang tersisa hanyalah tiga perkara suatu yang tetap bermanfaat baginya?

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila salah seorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara, yaitu; sedekah yang terus-menerus mengalir (jariyah), ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang selalu mendoakannya. (HR. Muslim)

Salah satu amal kebaikan yang pahalanya terus terbawa kepada si mayyit sampai ke alam kuburnya adalah sedekah dan mewariskan (mewakafkan) mushaf Al Qur’an. (HR. Bukhori)

Kategori

Yuk sedekah untuk program bermanfaat elssi peduli