PERNIAGAAN SHUHAIB AR-RUMI YANG BERUNTUNG

Perniagaan Shuhaib Ar-Rumi yang Beruntung

Bergelar Ar-Rumi

Shuhaib Ar-Rumi adalah orang Arab asli. Ayahnya dari Bani Numair sedangkan ibunya dari Bani Tamim. Gelar Ar-Rumi itu mempunyai kisah tersendiri.

Dua periode sebelum diutusnya Rosululloh ﷺ, Bashrah diperintah oleh seorang raja bernama Sinan bin Malik An-Numairy, yaitu sebelum negeri itu diperintah oleh Kisra, raja Persia. Sinan bin Malik An-Numairy mempunyai seorang putra yang sangat disayanginya berusia lebih kurang lima tahun bernama Shuhaib. Shuhaib berwajah tampan, berambut merah memperlihatkan kesegaran, mempunyai sepasang mata yang memancarkan kecerdasan. Di samping itu, dia periang dan menjadi penawar hati dan menghilangkan segala rasa duka di hati kedua orangtuanya.

Suatu ketika ibu Shuhaib pergi berlibur bersama putranya yang masih kecil itu. Diiringi oleh segenap inang pengasuh dan para pengawal istana. Dia pergi ke desa Tsaniya dalam wilayah Iraq. Tiba-tiba pasukan patroli tentara Romawi menyerang desa tersebut. Mereka menewaskan para pengawal, merampas harta kekayaan di negeri itu dan menahan sejumlah wanita dan anak-anak termasuk Shuhaib.

Baca Artikel Lainnya!

Berstatus Budak

Perniagaan Shuhaib Ar-Rumi yang Beruntung – Shuhaib diperjualbelikan oleh tentara yang menawannya di pasar budak dalam wilayah Romawi. Maka sejak itu Shuhaib berpindah-pindah tangan dan berkhidmat dari satu tuan kepada tuan yang lain. Keadaannya sama dengan ribuan budak-budak yang memenuhi istana-istana Romawi ketika itu.

Dengan status budak seperti itu, Shuhaib dapat melihat semua sisi kehidupan masyarakat Romawi dan mengetahuinya dari dalam. Dia melihat dengan nyata kehidupan istana yang kotor dan palsu, serta mendengar dan melihat dengan jelas setiap kezaliman dan berbagai maksiat yang terjadi. Dia membenci dan memandang rendah masyarakat yang seperti itu. Dia berkata dalam hati, “Masyarakat seperti itu tidak dapat diperbaiki kecuali dengan angin topan.”

Kabar Kenabian

Walaupun Shuhaib tumbuh dewasa dan hidup di tengah-tengah penduduk Romawi, namun suatu hal yang tak pernah hilang dari pikirannya, dia bangsa Arab. Keinginannya untuk bebas dari perbudakan dan bertemu kembali dengan bangsanya tidak pernah sedetik pun hilang dari hatinya. Bahkan kerinduannya kepada negeri Arab tambah melonjak ketika dia mendengar seorang pendeta Nasrani berkata kepada majikannya: “Sesungguhnya telah dekat masanya akan muncul di Mekkah, di Jazirah Arab, seorang Nabi yang mengakui kerasulan Isa bin Maryam, dia mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada cahaya terang.”

Suatu ketika Shuhaib mendapat kesempatan yang baik untuk lari dari perbudakan. Dia menuju Mekkah, tempat Nabi yang ditunggu-tunggu. Setibanya di Mekkah, orang banyak memanggilnya Shuhaib Ar-Rumi, karena lidahnya yang berat berbahasa Arab dan rambutnya yang merah. Di Mekkah, Shuhaib mengadakan kontrak dengan Abdullah bin Jud’an, seorang pedagang Mekkah, untuk membawa barang dagangannya.

Shuhaib memperoleh penghasilan yang cukup dari pekerjaan tersebut. Namun ia tidak pernah lupa berita gembira yang disampaikan pendeta Nasrani kepada majikannya dahulu ketika dia menjadi budak. Maka setiap kali teringat ucapan pendeta itu, dia berkata dalam hati, “Kapan Nabi itu akan muncul?”.

Menyambut Islam

Namun tidak lama sesudah itu, pertanyaan itu terjawab. Suatu ketika Shuhaib tiba di Mekkah dari perjalanan niaga, dia mendengar berita yang disampaikan orang kepadanya: “Muhammad bin Abdullah telah diutus. Dia memanggil umat supaya beriman kepada Alloh satu-satu-Nya, dan mengajak berlaku adil serta berbuat ihsan. Dia melarang mereka melakukan yang keji dan munkar.”

Shuhaib bertanya, “Apakah dia yang digelari ‘Al-Amin’ itu?

Jawabnya, “Ya, betul!”

Tanya Shuhaib lagi, “Di mana rumahnya?”

Jawabnya, “Di rumah Al-Aqram bin Abu Arqam dekat bukit Shafa. Tetapi berhati-hatilah kalau engkau pergi ke sana, jangan sampai kelihatan orang Quraisy. Bila ada yang melihatmu pergi ke sana, engkau tentu disiksa mereka. Apalagi engkau orang asing di sini, tanpa keluarga yang akan melindungi dan menolongmu.”

Shuhaib lalu pergi ke rumah Al-Arqam dengan hati-hati dan sembunyi-sembunyi.  Sampai di sana didapatinya Ammar bin Yasir berada di dekat pintu dengan maksud yang sama. Lalu keduanya pun masuk ke majelis Rosululloh ﷺ mendengarkan sabda-sabda beliau. Maka cemerlanglah cahaya iman dalam kedua dadanya. Mereka berlomba mengulurkan tangan kepada Rosululloh untuk mengucapkan syahadat di hadapan beliau. Hari itu keduanya menghabiskan waktunya di samping Rosululloh, karena dahaga atas petunjuknya dan merasa nikmat berada di samping beliau. Setelah hari berganti malam, keadaan sudah tenang dan sunyi, barulah keduanya keluar dari majelis Rosululloh berjalan dalam gelap. Namun dada mereka bercahaya, cukup untuk menyinari dunia dan segenap isinya.

Shuhaib menanggung pula penganiayaan yang ditimpakan kaum Quraisy kepadanya. Sama halnya seperti yang dialami Bilal, Ammar, Sumayyah, Khabbab, dan Sahabat lainnya. Namun semua ditanggungnya dengan tenang dan sabar.

Keinginan Hijrah

Ketika Rosululloh ﷺ mengizinkan para sahabat hijrah ke Madinah, Shuhaib telah bertekad hendak pergi seiring dengan Rosululloh dan sahabatnya, Abu Bakar. Tetapi kaum Quraisy mengetahui rencana Shuhaib. Maka Shuhaib dihalangi dan selalu diamati. Tidak mungkin baginya melepaskan diri dari tangan mereka. Shuhaib telah menyiapkan kekayaannya berupa emas dan perak untuk dibawanya hijrah, hasil jerih payah selama bekerja. Sesudah Rosululloh dan sahabatnya hijrah ke Madinah, Shuhaib senantiasa mencari kesempatan untuk menyusul mereka. Tetapi dia belum beruntung karena mata-mata penjaga selalu awas mengamati gerak-geriknya. Tidak ada jalan lain baginya kecuali membuat tipu daya.

Pada suatu malam yang dingin Shuhaib sering pergi ke jamban seolah-olah dia sakit perut hendak buang air. Setiap dia ke jamban, dia pulang kembali tanpa mencurigakan. Para pengintip yang senantiasa mengintip gerak-gerik Shuhaib berkata sesama mereka, “Tenangkan hati kalian. Latta dan Uzza akan menjaganya.” Kemudian mereka pergi ke pembaringan dan tertidur pulas. Saat itulah dipergunakan Shuhaib untuk diam-diam berjalan menuju ke arah Madinah. Belum begitu jauh Shuhaib berjalan, para penjaganya sadar apa yang telah terjadi. Mereka bangun dari tidur lalu memacu kuda tercepat untuk melacak kepergian Shuhaib.

Ketika Shuhaib merasa ada yang mengejarnya dia naik ke tempat yang tinggi. Diambilnya panah dan dipasangnya pada busur. Shuhaib berteriak kepada para pengejarnya, “Hai, Kaum Quraisy! Kalian tahu aku adalah pemanah yang paling jitu. Demi Alloh kalian tidak akan dapat mendekatiku sampai setiap panahku habis menewaskan kalian satu persatu. Kemudian aku akan mempergunakan pedangku satu-satunya untuk membunuh kalian.”

Jawab mereka, “Demi Alloh! Kami tidak membiarkanmu dengan uangmu yang banyak itu lepas dari tangan kami. Kamu datang ke Mekkah dalam keadaan miskin. Kini kamu sudah kaya dan lebih dari cukup.”

Kata Shuhaib, “Bagaimana kalau hartaku ini kutinggalkan untuk kalian. Bersediakah kalian melapangkan jalan bagiku?”

Jawab mereka, “Ya, kami bersedia!” Shuhaib melemparkan kantong uangnya ke hadapan mereka, lalu mereka ambil dan membiarkan Shuhaib pergi ke Madinah untuk menyelamatkan agamanya, tanpa menyesal dan sedih atas harta yang dikorbankannya, demi untuk memetik kemuliaan dan kebahagiaan hidup. Bila dia merasa lelah dan letih dalam perjalanan, kerinduan kepada Rosululloh selalu membangkitkan semangatnya sehingga dia kembali segar dan meneruskan perjalanan dengan langkah tegap.

Perniagaan yang Untung

Sesampainya di Quba, Rosululloh ﷺ melihat Shuhaib datang. Beliau tersenyum kepada Shuhaib seraya berkata, “Perniagaan Anda beruntung, hai Abu Yahya!” Rosululloh mengucapkan kata-kata itu tiga kali. Wajah Shuhaib tampak cerah mendengar ucapan beliau ﷺ.

Kata Shuhaib, “Demi Alloh! Setahuku tidak ada orang yang mendahuluiku menemui Anda. Tentu Jibril yang memberitahukan kepada Anda perihal perniagaan itu.”

Memang benar, perniagaan Shuhaib sungguh beruntung, sebagaimana firman Alloh ﷻ: “Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya mencari keridhoan Alloh. Alloh Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. al-Baqoroh [2]: 207)

Partisipasi Kebaikan, Infak Dakwah Melalui ELSSI Di Sini!

Kategori

Yuk sedekah untuk program bermanfaat elssi peduli