Hari ini kita tengah memasuki Jum’at ke-tiga di bulan Muharram. Jum’at lalu, bertepatan 10 Muharram atau hari Asyura, insyallah mayoritas kaum muslimin telah berpuasa sunnah Asyuro, puasa sunnah yang banyak keutamaannya.
Disebutkan salah satu keutamaan puasa tersebut bahwa di hari yang mulia itu Allah telah menyelamatkan Nabi Musa alaihisalam dan kaumnya dengan menyeberangi lautan, dan Allah pun menenggelamkan Fir’aun serta bala tentaranya di laut itu, yakni pada hari Asyura tanggal 10 bulan Muharram kala itu.
Ada yang menarik dari kisah Nabi Musa dan kaumnya ini, kita coba petik faidahnya semoga bermanfaat bagi penguatan tauhid dalam diri kita sebagai orang yang beriman. Tauhid yang didasari kecintaan terhadap Allah harus tumbuh dan mengakar dalam diri kita. Cinta yang membuat mabuk kepayang.
PERGI KE SYAM
Dikisahkan setelah Nabi Musa alaihisalam dan kaumnya diselamatkan dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya tepat pada tanggal 10 Muharram yang dikenal hari Asyuro, Nabi Musa dan kaumnya kemudian menyusuri perjalanan menuju Syam, tepatnya ke wilayah yang sekarang dikenal negeri Palestina.
Allah ﷻ berfirman, Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu. Ketika mereka sampai kepada suatu kaum (di suatu negeri) yang masih tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa, buatkanlah untuk kami tuhan (berupa berhala) sebagaimana tuhan-tuhan mereka.” Musa menjawab, “Sesungguhnya kalian adalah kaum yang tidak mengerti.” Sesungguhnya mereka akan dibinasakan oleh kepercayaan syirik yang dianutnya dan akan sia-sia apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-‘Arof: 138-139)
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Qoshosh al-Anbiya menjelaskan bahwa Bani Israil pergi meninggalkan Mesir pada awal tahun, yakni bulan Muharram, tepatnya mulai dari awal musim semi. Setelah Allah selamatkan mereka menyeberangi lautan, tiga bulan berikutnya mereka telah sampai memasuki daratan dekat Sinai. Mereka sampai di suatu negeri kepada suatu kaum yang menyembah berhala, dan mereka meminta dibuatkan berhala untuk disembah atau sebagai perantara dalam berdoa. Ini adalah perbuatan syirik kepada Allah, padahal mereka telah melihat tanda-tanda kebesaran dan kuasa Allah yang menyelamatkan mereka dengan membelah lautan begitu dahsyat dan yang telah memberi mereka petunjuk.
Maka Nabi Musa pun berkata, Sungguh kalian ini kaum yang bodoh, tidak memahami bahwa berhala-berhala itu tidak berakal dan tidak dapat memberi petunjuk.
Nabi Musa mengingatkan nikmat Allah kepada Bani Israil bahwa Allah telah menyelamatkan mereka dari cengkraman Fir’aun yang sombong dan zhalim, Allah telah membinasakan Fir’aun di depan mata mereka dan telah mewariskan harta benda, kebahagiaan dan bangunan-bangunan milik Fir’aun kepada mereka. Allah lebihkan mereka dibandingkan umat-umat yang lain di masa itu.
Selanjutnya Nabi Musa pun menjelaskan bahwa ibadah hanya patut dipersembahkan kepada Allah ﷻ semata yang tiada memiliki sekutu, karena Dia adalah Pencipta, Pemberi rezeki dan Maha mengalahkan.
Sebagaimana Allah berfirman,
وَأَوۡرَثۡنَا ٱلۡقَوۡمَ ٱلَّذِينَ كَانُواْ يُسۡتَضۡعَفُونَ مَشَٰرِقَ ٱلۡأَرۡضِ وَمَغَٰرِبَهَا ٱلَّتِي بَٰرَكۡنَا فِيهَاۖ وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ ٱلۡحُسۡنَىٰ عَلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ بِمَا صَبَرُواْۖ وَدَمَّرۡنَا مَا كَانَ يَصۡنَعُ فِرۡعَوۡنُ وَقَوۡمُهُۥ وَمَا كَانُواْ يَعۡرِشُونَ
Dan Kami wariskan bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi kepada kaum yang tertindas itu. Dan telah sempurnalah firman Rabbmu yang baik itu sebagai janji untuk Bani Israil disebabkan mereka bersabar. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun. (QS. Al-‘Arof: 137)
قَالَ أَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡغِيكُمۡ إِلَٰهٗا وَهُوَ فَضَّلَكُمۡ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ
Lalu Musa berkata, Pantaskah aku mencari tuhan untuk kalian selain Allah, padahal Allah telah melebihkan kalian atas segala umat (pada masa itu). (QS. Al-‘Arof: 141)
Permintaan dibuatkan berhala itu menjadi awal kerusakan tauhid Bani Israil yang mengundang kemurkaan Allah ﷻ di kemudian hari. Mereka akan menjadi kaum yang banyak mengingkari nikmat Allah.
MENOLAK JIHAD
Lalu, di tengah perjalanan Nabi Musa dan kaumnya menuju Syam, Nabi Musa mendapat kabar bahwa di tanah suci Palestina terdapat kaum yang sangat kuat lagi kejam, sehingga Bani Israil enggan memasukinya dan kemudian menolak perintah jihad.
Allah ﷻ berfirman, Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika Allah mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang merdeka, dan memberikan kalian apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain. Wahai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagi kalian, dan janganlah kalian berbalik ke belakang karena takut kepada musuh, nanti kalian menjadi orang-orang yang rugi.”
Mereka berkata, “Wahai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.”
Berkatalah dua orang laki-laki di antara Bani Israil yang bertakwa yang telah diberi nikmat oleh Allah, “Serbulah mereka melalui pintu gerbang negeri itu. Jika kalian memasukinya niscaya kalian akan menang. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, jika kalian orang-orang beriman.”
Mereka berkata, “Wahai Musa, sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Rabbmu dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap menanti di sini saja.”
Musa pun berkata, “Ya Rabbku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku, sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.”
Allah berfirman, “Jika demikian maka negeri itu terlarang bagi mereka selama 40 tahun, dan selama itu mereka akan mengembara kebingungan di bumi. Maka janganlah engkau (wahai Musa) bersedih hati memikirkan nasib orang-orang yang fasik itu.” (QS. Al-Maidah: 20-26)
Keengganan Bani Israil masuk ke negeri Palestina dan menolak berjuang bersama Nabi Musa sangat tercela seolah mereka tidak pernah menyaksikan kematian Fir’aun yang jauh lebih jahat, lebih kuat dan lebih besar pasukannya. Mereka telah mendustakan kebesaran Allah yang telah menolong mereka mengalahkan musuh dan pasti kuasa memenangkan mereka lagi, jika mereka yakin dan tawakal kepadaNya.
Setelah diselamatkan dari Fir’aun, Bani Israil telah diberikan anugerah yang banyak oleh Allah, diberikan apa-apa yang tidak pernah diberikan kepada umat yang lain, seperti saat musim panas awan-awan menaungi mereka dari teriknya matahari, memancarnya dua belas sumber air untuk suku-suku Bani Israil, diturunkannya makanan dari langit berupa manna dan salwa. Tapi semua nikmat itu tidak dijaga dan disyukuri. Banyak di antara mereka berkeluh kesah dan merasa bosan dan meminta makanan yang lebih rendah.
Meski telah diberi banyak nikmat, saat Allah dan rasulNya memerintahkan Bani Israil berjuang membela tanah suci Baitul Maqdis dari kaum yang zhalim, sebagian mereka menolak. Bahkan mereka mengatakan perkataan yang sangat tercela, perkataan yang sangat menyakiti hati sang utusan Allah. Akhirnya Allah memisahkan orang yang kafir itu dari yang beriman dan menghukum mereka dengan mengembara di bumi selama 40 tahun tanpa tahu arah, berjalan tanpa tujuan siang dan malam di padang pasir Sinai.
PERMINTAAN MELIHAT ALLAH
Bani Israil telah mengatakan yang membuat Nabi Musa bersedih hati, “Pergilah engkau berperang bersama tuhanmu berdua.” Di ayat yang lain disebutkan mereka berkata, “Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas.” (QS. Al-Baqoroh: 55)
Kita dapat bayangkan betapa durhakanya kaum yang seperti itu, namun Nabi Musa tetap bersabar dan menanti pertolongan dari Allah.
Saat-saat itulah janji Allah pun tiba kepada Nabi Musa dan orang-orang yang beriman kepadanya. Allah berfirman, Dan Kami telah menjanjikan (memberikan Taurat) kepada Musa tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh malam lagi, maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya yaitu Harun, Gantikanlah aku dalam memimpin kaumku dan perbaikilah dirimu dan kaummu, dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Ketika Musa datang untuk munajat pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, Ya Rabbku, tampakkanlah diriMu kepadaku agar aku dapat melihatMu. Allah berfirman, engkau tidak akan sanggup melihatKu, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya sebagaimana sedia kala niscaya engkau dapat melihatKu.
Maka Ketika Tuhannya menampakkan keagunganNya kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, ia berkata, Mahasuci Engkau, aku bertobat kepadaMu dan aku termasuk orang-orang yang pertama-tama beriman. Allah berfirman, wahai Musa, sesungguhnya Aku memilihmu dari manusia yang lain pada masamu untuk membawa risalahKu dan firmanKu, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur. (QS. Al-‘Arof: 142-144)
Allah menolong rasulNya dan memberinya petunjuk bahkan dengan berkalam secara langsung kepadanya, seketika itu pun Nabi Musa merasa bahagia dan lapang dadanya, karena merasakan nikmatnya mendengar keindahan kalam Dzat Yang Maha Indah.
Saat itu tepatnya setelah satu bulan lebih sepuluh hari, para ulama berkata itu adalah satu bulan Dzulqo’dah ditambah sepuluh hari bulan Dzulhijjah, Allah menurunkan Taurat sebagai petunjuk dan jalan hidup bagi Bani Israil, serta meneguhkan rasulNya, Musa alaihisalam. Allah berkalam secara langsung kepada Nabi Musa, Imam Ibnu Katsir berkata, Allah berbicara kepada Musa pada malam Idul Adha.
Yang menarik adalah di tengah-tengah kegembiraan dan kebahagiaan tiada tara saat Nabi Musa mendengar kalam Dzat Yang Maha Mulia, saat Allah memperdengarkan kata-kataNya dari balik tabirNya kepada Nabi Musa, memuncaklah kerinduan Nabi Musa kepada Sang Kekasih, kepada Allah ﷻ sehingga membuat dirinya ingin melihat Allah ﷻ. Karena begitu indah dan nikmatnya mendengar Kalam Allah, semakin memuncak kegembiraan dan kecintaannya kepada Dzat Yang dirindukan.
Sampai-sampai cinta dan rindu seperti ini di kalangan sesama makhluk sering diistilahkan mabuk kepayang. Mabuk bukan karena telah meminum sesuatu yang memabukkan, tapi karena kerinduan yang memuncak dan kecintaan yang teramat sangat menjadikannya seakan tenggelam dalam kegembiraan.
Imam Ibnul Qoyyim berkata dalam kitab Madarijus Salikin,
والغرق في بحر السُّرور، والصبر هائم أي: يكون المحبُّ غريقًا في بحر السُّرور، لا يفارقه السُّرور، حتَّى كأنَّه بحرٌ قد غرق فيه، فكما أنَّ الغريق لا يفارقه الماء، كذلك المحبُّ لا يفارقه السُّرور يكون غريقًا في سروره بالمحبَّة وصبرُه مفقودٌ
tenggelam dalam lautan kegembiraan dan kesabaran pun menjadi hilang, yakni tidak pernah lepas dari kegembiraan, sehingga seakan-akan kegembiraan itu merupakan lautan dan ia tenggelam di dalamnya. Sebagaimana orang tenggelam yang tidak lepas dari air, maka orang yang mencintai juga tidak lepas dari kegembiraan. Karena ia tenggelam dalam lautan kegembiraan ini, seakan-akan ia tidak lagi mampu menguasai kesabaran.
Dan Nabi Musa saat itu tidak sabar ingin bertemu Allah, ia pun meminta melihat Allah ﷻ. Namun Allah menjelaskan bahwa DiriNya tidak akan mungkin dapat dilihat di dunia, adapun nanti orang-orang yang beriman baru dapat melihatNya di alam surga, berseri-serilah wajah mereka memandang Wajah Nan Maha Indah lagi Mulia, kenikmatan yang membuat mereka seakan tidak lagi membutuhkan segala kenikmatan surga.
وُجُوهٞ يَوۡمَئِذٖ نَّاضِرَةٌ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٞ
Pertanyaannya, sanggupkah kita mencintai Allah hingga bertemu denganNya di dalam surga??
Ini tipsnya dari Nabi ﷺ!
الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
Tetaplah bersama mereka yang mencintai Allah ﷻ, niscaya engkau akan meraih kecintaan Allah bersama mereka.
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Pengakuan cinta kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti suri teladan yang telah meraih cintaNya.